Gunung Tambora (atau
Tomboro) adalah sebuah
stratovolcano aktif yang terletak di pulau
Sumbawa,
Indonesia. Gunung ini terletak di dua
kabupaten, yaitu
Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan
Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi
Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan
kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh
zona subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300
m[2] yang membuat gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di
Nusantara dan mengeringkan
dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi kembali
dapur magma tersebut.
Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan
April tahun
1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada
Volcanic Explosivity Index. Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak letusan
danau Taupo pada tahun
181. Letusan gunung ini terdengar hingga pulau
Sumatra (lebih dari 2.000
km).
Abu vulkanik jatuh di
Kalimantan,
Sulawesi,
Jawa dan
Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut.
[4] Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang terlalu tinggi. Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (
1816) sering disebut sebagai
Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca
Amerika Utara dan
Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak
panen yang gagal dan kematian
ternak di
Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya
kelaparan terburuk pada abad ke-19.
Selama penggalian arkeologi tahun
2004, tim arkeolog menemukan sisa kebudayaan yang terkubur oleh letusan tahun
1815 di kedalaman 3 meter pada endapan piroklastik. Artifak-artifak tersebut ditemukan pada posisi yang sama ketika terjadi letusan di tahun
1815. Karena ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai
Pompeii dari timur.
Letusan tahun 1815
[sunting]Kronologi letusan
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau
Kalimantan dan
Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama
gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam
dapur magma yang tertutup.
[7] Didalam
dapur magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5
kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.
[7]Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam.
[2] Pada tanggal
5 April 1815, erupsi terjadi, diikuti dengan suara
guruh yang terdengar di
Makassar,
Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini
Jakarta) di pulau
Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan
Ternate di
Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau
Sumatera pada tanggal
10-
11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.
[16] Pada pagi hari tanggal
6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di
Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal
10 April 1815.
Pada pukul 7:00 malam tanggal
10 April, letusan gunung ini semakin kuat.
[2] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.
[16] Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api.
[16] Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal
11 April. Abu menyebar sampai
Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal
11 dan
17 April 1815.
[2]Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal
5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari
Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.
Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala
Volcanic Explosivity Index.
[17] Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung
Krakatau tahun
1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik
trakiandesitdikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×10
14 kg.
[4] Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6-7 km dan kedalaman 600-700 m.
[2] Massa jenis abu yang jatuh di
Makassar sebesar 636 kg/m².
[18] Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m,
[2] salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.
[19]Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah.
[2][4] Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km.
[2] Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari puncak.
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km .
[2] Rakit batu apung lainnya ditemukan di
Samudra Hindia, di dekat
Kolkata pada tanggal
1 dan
3 Oktober 1815.
[4] Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal
23 April. Ledakan berhenti pada tanggal
15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal
23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan
Agustus tahun
1819, empat tahun setelah letusan.
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Sejak letusan,
diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal
10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.
[2] Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki,
Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di
Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai
stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km.
[4] Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di
atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.
[2] Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di
London,
Inggris antara tanggal
28 Juni dan
2 Juli 1815 dan
3 September dan
7 Oktober 1815.
[2]Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau
Lombok.
[20] Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok.
[21] Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.
[2] Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak.
[5] Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan
Raffles.
[16] Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di
Bali dan
Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi.
[5] Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel dibawah.
[4][sunting]Pengaruh global
Letusan gunung Tambora tahun 1815 mengeluarkan
sulfur ke
stratosfer, menyebabkan penyimpangan iklim global. Metode berbeda telah memperkirakan banyaknya sulfur yang dikeluarkan selama letusan: metode
petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan pengamatan
anatomi, dan metode konsentrasi sulfat inti es, menggunakan es dari
Tanah Hijau dan
Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode, antara 10 Tg S hingga 120 Tg S.
[4]Pada musim semi dan musim panas tahun
1816, sebuah
kabut kering terlihat di timur laut
Amerika Serikat. Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya matahari, seperti bintik pada matahari yang terlihat dengan mata telanjang. Baik angin atau hujan tidak dapat menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut diidentifikasikan sebagai
kabut aerosol sulfat stratosfer.
[4] Pada musim panas tahun
1816, negara di
Belahan Utara menderita karena kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai
Tahun tanpa musim panas. Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 °C,
[2] cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di dunia. Pada tanggal
4 Juni 1816, cuaca penuh es dilaporkan di
Connecticut, dan dan pada hari berikutnya, hampir seluruh
New England digenggam oleh dingin. Pada tanggal
6 Juni 1816, salju turun di
Albany, New York, dan
Dennysville, Maine.
[4] Kondisi serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan menyebabkan gagal panen di Amerika Utara.
Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm terhimpun didekat
Kota Quebec dari tanggal
6 sampai
10 Juni 1816.
1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung
Huaynaputina di
Peru tahun
1600.
[17] Tahun
1810-an adalah dekade terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan Tambora tahun 1815 dan lainnya menduga letusan terjadi antara tahun
1809 dan tahun
1810. Perubahan temperatur permukaan selama musim panas tahun
1816,
1817 dan tahun
1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C,
[17] dan juga musim panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami badai salju yang lebih deras.
Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab
wabah tifus di Eropa Tenggara dan
Laut Tengah bagian timur diantara tahun
1816 dan tahun
1819.
[4]Banyak ternak meninggal di
New England selama musim dingin tahun
1816-
1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar menyebabkan gagal panen di
Kepulauan Britania. Keluarga-keluarga di
Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di
Irlandia utara dan barat daya karena
gandum,
haver dan
kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi di
Jerman, harga makanan naik dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko roti yang diikuti dengan kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak kota-kota di
Eropa. Ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19.
[4][sunting]Bukti arkeologi
Tim tersebut menggunakan
radar penembus tanah untuk mencari lokasi rumah kecil yang terkubur. Mereka menggali kembali rumah dan mereka menemukan sisa dua orang dewasa, dan juga mangkuk perunggu, peralatan besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi artifak memiliki kesamaan dengan artifak dari
Vietnam dan
Kamboja.
[6] Uji coba dilakukan menggunakan teknik karbonisasi memperjelas bahwa mereka terbentuk dari
pensil arang yang dibentuk oleh panas
magma. Semua orang, rumah dan kebudayaan dibiarkan seperti saat mereka berada tahun
1815. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai
Pompeii dari timur.
[24][25] Berdasarkan artifak yang ditemukan, yang mayoritas benda perunggu, tim menyatakan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah menunjukan bahwa orang di pulau Sumbawa terkenal di
Hindia Timur untuk
madu,
kuda,
kayu sepang (
caesalpinia sappan), memproduksi
dye merah, dan
cendana yang digunakan untuk
dupadan pengobatan.
[6] Daerah ini diketahui produktif dalam bidang pertanian.
Penemua arkeologi memperjelas bahwa terdapat kebudayaan yang hancur karena letusan tahun 1815. Sebutan
Kerajaan Tambora yang hilang disebut oleh media.
[26][27] Dengan penemuan ini, Sigurdsson bermaksud untuk kembali ke Tambora tahun
2007 untuk mencari sisa desa, dan berharap dapat menemukan istana.
[6]Tim penelitian yang dipimpin oleh
ahli botani Swiss, Heinrich Zollinger, tiba di pulau Sumbawa tahun 1847.
[28] Misi Zollinger adalah untuk mempelajari letusan dan pengaruhnya terhadap ekosistem lokal. Ia adalah orang pertama yang memanjat ke puncak gunung Tambora setelah letusan gunung tersebut. Gunung tersebut masih tertutup oleh asap. Ketika Zollinger memanjat, kakinya tenggelam beberapa kali melalui kerak permukaan tipis menuju lapisan hangat yang seperti
sulfur. Beberapa tumbuh-tumbuhan kembali tumbuh dan beberapa pohon diamati di lereng yang lebih rendah. Hutan
Casuarina dicatat pada 2.200-2.550 m.
[29] Beberapa
Imperata cylindrica juga dapat ditemukan.
Penduduk mulai tinggal di gunung Tambora pada tahun
1907. Penanaman
kopi dimulai pada tahun
1930-an di lereng bagian barat laut gunung Tambora, di desa Pekat.
[30] Hutan hujan yang disebut
Duabangga moluccana telah tumbuh dengan ketinggian 1.000-2.800
m.
[30] Penanaman tersebut mencakupi daerah seluas 80.000 hektar (800 km²). Hutan hujan ditemukan oleh tim
Belanda, dipimpin oleh Koster dan De Voogd tahun 1933.
[30] Mereka memulai perjalanan di "daerah hampir tandus, kering dan panas" dan mereka memasuki "hutam hebat" dengan "raksasa hutan yang besar dan megah". Pada ketinggian 1.100 m, mereka memasuki hutan
montane. Pada ketinggian 1.800 m , mereka menemukan
Dodonaea viscosa yang didominasi oleh pohon
Casuarina. Di puncak, mereka menemukan sedikit
Anaphalis viscida dan
Wahlenbergia.
Sejak tahun
1972, perusahaan penebangan komersial telah beroperasi di daerah ini, yang menyebabkan ancaman terhadap hutan hujan. Perusahaan penebangan memegang izin untuk menebang kayu di daerah seluas 20.000 hektar (200 km²), atau 25% dari jumlah luas daerah.
[30] Bagian hutan hujan lainnya digunakan untuk berburu. Di antara tanah berburu dan tanah penebangan, terdapat
cagar alam, temat
rusa,
kerbau,
babi hutan,
kelelawar,
rubah terbang, dan berbagai spesies
reptil dan
burung dapat ditemukan.
[30]Populasi
Indonesia meningkat dengan cepat sejak letusan tahun
1815. Pada tahun
2006, populasi Indonesia telah mencapai 222 juta jiwa,
[32] dan 130 juta penduduk berada di pulau
Jawa dan
Bali.
[33]Sebuah letusan gunung berapi sebesar letusan Tambora tahun 1815 akan menyebabkan kematian yang lebih besar, sehingga aktivitas vulkanik di Indonesia terus diamati, termasuk gunung Tambora.
Aktivitas seismologi di Indonesia diamati oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Pos pengamatan untuk gunung Tambora terletak di desa Doro Peti.
[34] Mereka memfokuskan aktivitas seismik dan tektonik dengan menggunakan
seismometer. Sejak letusan tahun 1880, tidak terdapat peningkatan aktivitas seismik.
[35] Pengamatan terus dilakukan di dalam kaldera, terutama di kawah Doro Api Toi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menegaskan peta mitigasi bahaya gunung Tambora. Dua zona yang dinyatakan adalah zona bahaya dan zona waspada.
[34] Zona bahaya adalah daerah yang secara langsung terpengaruh oleh letusan: aliran piroklastik, aliran lava dan jatuhnya
piroklastik lainnya. Daerah ini, termasuk kaldera dan sekelilingnya, meliputi daerah seluas 58,7 km². Orang dilarang tinggal di zona berbahaya. Zona waspada termasuk daerah yang mungkin dapat secara langsung terpengaruh oleh letusan: aliran
lahar dan batuan apung lainnya. Luas dari daerah waspada sebesar 185 km², termasuk desa Pasanggrahan, Doro Peti, Rao, Labuan Kenanga, Gubu Ponda, Kawindana Toi dan Hoddo. Sungai yang disebut sungai Guwu yang terletak di bagian selatan dan barat laut gunung Tambora juga dimasukan kedalam zona waspada.
[34]